Selasa, 31 Januari 2017

PARAMETER DAN KARAKTERISTIK GAS RUMAH KACA


Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan gas-gas atau zat-zat di atmosfer, terbentuk secara alami maupun dari kegiatan manusia, yang dapat menyerap dan memancarkan kembali radiasi infra merah hasil pantulan sinar matahari oleh bumi menuju ruang angkasa. Sinar infra merah yang terserap oleh GRK yg berada pada atmosfir terdekat dengan bumi menimbulkan efek panas yg dikenal dengan “Efek Rumah Kaca” (Martono, 2012)

Berdasarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) dan Kyoto Protocol terdapat  Gas Rumah Kaca utama yang menjadi pusat perhatian yaitu sebagai berikut:

1.     1. Karbon Dioksida (CO2)

Secara alamiah CO2 paling banyak dihasilkan melalui proses respirasi yang terjadi permukaan bumi dan laut oleh organisme aerob yang terkontrol dalam siklus karbon. Kehadiran umat manusia mempengaruhi silklus yang telah berlangsung terutama terhadap peningkatan  jumlah karbon dioksda di udara. Pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan,  perluasan wilayah pertanian, serta pembangkit listrik  merupakan sumbangsih manusia dalam meningkatkan jumlah karbon dioksida di udara. Berikut merupakan aktivitas manusia sumber emisi gas CO2:














Karbon dioksida sendiri memiliki karakteristik berdasarkan sifat fisik dan kimia sebagai berikut:
          

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 rentang konsentrasi alamiah karbon dioksida diatur dalam batas baku mutu yang berlaku yaitu:
           
Sumber : PP No. 41 Thn. 1999

Tren yang terbentuk pada akibat emisi gas CO2 dapat dilihat dari gambar berikut:




2.     2. Metana (CH4)

Metana dihasilkan dari sumber alamiah maupun aktivitas manusia. Kegiatan manusia yang berkontribusi dalam menimbulkan gas metana adalah produksi bahan bakar fosil, peternakan, budidaya padi, pembakaran biomassa, dan pengelolaan limbah. Lebih dari 50 persen emisi gas metana dihasilkan oleh aktivitas manusia (EPA, 2011).

Metana adalah gabungan kimia antara unsur formula molekul CH4. Secara almani metana dihasilkan ketika jenis-jenis mikroorganisme tertentu menguraikan bahan organik pada kondisi tanpa udara (anaerob). Gas ini juga dihasilkan secara alami pada saat pembusukan biomassa di rawa-rawa sehingga disebut juga gas rawa. Metana mudah terbakar, dan menghasilkan karbon dioksida sebagai hasil sampingan

Gas CH4 memiliki waktu tinggal 8-10 tahun dan dapat juga mempengaruhi proses reaksi kimia di atmosfer yang melibatkan metan oksidasi sebagai pengendali reaksi. Metana meningkat secara cepat dalam dua abad ini dan menduduki peringkat kedua setelah CO2 sebagai GRK yang menyebabkan pemanasan global. Kadar methana (CH4) global saat ini telah mencapai konsentrasi 1780 ppbv, lebih tinggi dua kali dibandingkan kadarnya pada masa sebelum industri sebesar 800 ppbv (Suryadi, 2012).

Tren yang terbentuk pada akibat emisi gas CH4 dapat dilihat dari gambar berikut:



Laju peningkatan kandungan CH4 relatif lambat dari sekitar 15 ppbv per tahun pada tahun 1980-an hingga mendekati nol pada 1999. Semenjak 1990, rataan tahunan peningkatan CH4 di atmosfer bervariasi antara kurang dari nol hingga 15 ppbv.

3.     3. Nitrogen Oksida (N2O)

Nitrogen Oksida memiliki sumber alami serta sumber akibat aktivitas manusia. Kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi gas nitrogen oksida adalah pengelolaan tanah pertanian dan industri, produksi asam adipat dan nitra, pembakaran bahan bakar fosil dan limbah padat (IPCC,2007). Secara alami dihasilkan oleh sumber biologi dalam tanah dan air terutam mikroba.

N2O merupakan GRK yang memiliki umur sangat panjang sekitar 150 tahun. Selain itu N2O berpotensi menimbulkan pemanasan global sebesar 298 kali dibandingkan CO2. Oleh karena itu sekecil apapun konsentrasi N2O, dapat meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer dengan laju peningkatan sebesar 0,2% per tahun.

Saat ini, konsentrasi N2O diatmosfer berkisar pada 317 ppbv, yang meningkat dari 200 ppbv pada tahun 2001. Kebanyakan dari peningkatan ini terjadi selama 50 tahun terakhir dengan pola peningkatan yang linier sebesar 0.7 ppbv per tahun. Peningkatan antara 0.2-0.3 % pada konsentasi atmosfer akan berkontribusi sebesar 5 % terhadap pemanasan akibat gas rumah kaca (Yunindanova, 2011).

Tren yang terbentuk pada akibat emisi gas CH4 dapat dilihat dari gambar berikut:




4.     4. Gas Flor
a.       Hidroflorokarbon (HFC)
Hidroflorokarbon digunakan sebgai pendingin, aerosol, dan bahan pembakar. Terutama pada campuran pendingin pada AC kendaraan dan bangunan. Bahan ini merupakan bahan pengganti klorolorokarbon (CFC) karena relatif lebih ramah lingkungan dengan tidak merusak lapisan ozon.

b.      Perflorokarbon (PFC)
Perflorokarbon digunakan sebagai bahan campuran dalam proses produksi berbagai macam industri yang berhubungan dengan produksi alumunium dan semi konduktor. Terkadang juga digunakan dalam sektor elektronik serta industri kosmetik dan farmasi.

c.       Sulfur heksaflorida (SF6)
Sulfur heksaflorida digunakan dalam proses menghasilkan magnesium yang digunakan untuk mendeteksi kebocoran. Digunakan juga dalam peralatan transmisi dalam barang-barang elektronik.

SF6 yang murni tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun dan tidak mudah tercampur. Berat jenis SF6 pada temperatur 20 0C dan pada tekanan 760 mmHg adalah 6,135 kg/m3 . Jika dibandingkan dengan berat jenis udara adalah lima kalinya. Gas ini akan mencair pada temperatur yang rendah, temperatur pencairan bergantung pada tekanan yang diberikan. Pada temperatur 10 0C dan tekanan 15 atm, gas akan mencair. Jika tekanan gas ini tinggi, temperatur pencairan tinggi.

Di dalam sebuah molekul SF6, atom sulfurnya terdapat pada daerah valensi tertinggi dari daerah valensi molekulnya. Sedangkan keenam ikatan molekulnya ialah kovalen, yang mana ini merupakan kelebihan dari molekul ini yang stabil. Susunan molekul dari SF6 merupakan bidang delapan yang pada keenam sudutnya ditempati atom fluoride. SF6 adalah gas yang tidak mempunyai sifat kimia yang aktif sampai di atas 150 0C dan tidak akan merusak logam, plastik dan bahan lain yang biasa digunakan pada komponen pemutus tenaga.

Tren yang terbentuk pada akibat emisi gas flor dapat dilihat dari gambar berikut:






DAFTAR PUSTAKA
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
  • Anggraini, Wachdiyah. 2012. Perhitungan Gas Rumah Kaca dari Ruang Lingkup Dua (Studi Kasus di Universitas Indonesia Depok). Depok: Universitas Indonesia
  • Martono. 2012. Fenomena Gas Rumah Kaca. dalam majalah Forum Teknologi Vol. 05 No.2
  • Yunindanova, Mercy Bientri. 2011. Tingkat Emisi CH4 dan N2O serta Produktivitas Tanaman Jarak Pagar pada Tiga Sumber Pupuk Nitrogen. Bogor: Institut Pertanian Bogor
  • Suryadi, Andi. 2012. Fluks Gas Metana dan Dinitrogen Oksida pada Lahan Jagung, Kacang Tanah dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor
  • EPA. 2011. Methane Sources.
  • IPCC. 2007. Synthesis Report 2007 Mitigation of Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge

DAMPAK GAS RUMAH KACA PADA LINGKUNGAN DAN MAHKLUK HIDUP

Gas Rumah Kaca (GRK), menurut kamus Merriam Webster¸ adalah aneka senyawa gas, seperti karbon dioksida, yang dapat menyerap radiasi infrared, memerangkap panas dalam atmosfer, dan berontribusi pada efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri merupakan proses alamiah yang terjadi di bumi yang mengakibatkan temperatur rata-rata Bumi adalah sekitar 15oC, yang tanpanya hanyalah sebesar 0oF atau -18oC (Qiancheng, 1998). Namun, sejak terjadinya revolusi industri yang membuat aktivitas manusia semakin beragam dan menghasilkan limbah dan polutan yang semakin beragan pula, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer meningkat, bahkan banyak senyawa gas baru bermunculan. Fenomena ini mengakibatkan efek rumah kaca semakin besar dan semakin meningkatkan temperatur rata-rata bumi atau yang populer disebut ‘Global Warming’. Proses terjadinya efek rumah kaca ini dapat disaksikan di video berikut ini.




Dari berbagai GRK yang ada di bumi, ada empat senyawa aktivitas manusia modern yang emisinya paling banyak, yaitu karbon monoksida (CO2), gas metana (CH4), gas dinitrogen oksida (N2O), ozon (O3), dan gas terflorinasi (IPCC, 2014), seperti CFC, HFC, PFC, dan SF6. Selain gas-gas tersebut, sebenarnya ada GRK yang paling banyak konsentrasinya dibandingkan semua gas tersebut, yakni uap air (H2O). Namun, uap air masih menjadi perdebatan di kalangan para ilmuan karena uap air jumlahnya memang semakin banyak saat ini, tetapi itu disebabkan oleh dampak dari pemanasan global yang diakibatkan oleh GRK lainnya, bukan akibat dari aktivitas manusia secara langsung (NOAA, 2016). Selain itu, menurut beberapa teori, uap air tidak dapat dikatakan sebagai GRK karena jumlahnya yang tidak stabil di atmosfer, akibat dari siklus air yang terus berlangsung. Berikut adalah data konsentrasi GRK yang tercatat di bumi saat ini.

Tabel 1. Konsentrasi Gas Rumah Kaca di Troposfer



            Semua GRK yang ditunjukkan pada Tabel 1 memiliki dampak yang sama terhadap bumi, yaitu terjadinya efek rumah kaca yang menyebabkan panas yang terperangkap dari sinar infrared pada muka bumi semakin banyak, sehingga lebih meningkatkan temperatur muka bumi. Pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca ini merupakan salah satu indikator paling kuat dalm fenomena perubahan iklim atau climate change yang sedang terjadi di berbagai belahan bumi. Fenomena ini tentunya mengakibatkan munculnya berbagai dampak yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Beberapa dampak yang awalnya disebabkan oleh GRK ini, dapat diklasifikasikan sebagaimana berikut ini.


A. Dampak pada Ekosistem dan Lingkungan
            Meningkatnya suhu rata-rata pada muka bumi tentunya mempengaruhi secara langsung berbagai jenis ekosistem, seperti ekosistem perairan, ekosistem laut, ekosistem hutan, ekosistem gurun, maupun ekosistem kutub. Selain secara langsung, peningkatan suhu juga secara tidak langsung memberi dampak kepada ekosistem-ekosistem tersebut melalui disturbansi pada kondisi meteorologis atmosfer, yang menghasilkan berbagai jenis cuaca yang ekstrem. Setiap 1 derajat celcius peningkatan temperatur memberikan efek yang sangat signifikan bagi suatu ekosistem. Berikut adalah dampak ekstremnya efek rumah kaca yang terjadi di masing-masing ekosistem.

Ekosistem Perairan
            Udara yang lebih hangat dari biasanya dapat memicu hujan yang ekstrem. Dari hujan yang ekstrem ini, badan air, seperti sungai dan danau, akan mengalami kelebihan beban dan mengakibatkan kebanjiran. Hujan yang semakin deras dan banjir dapat meningkatkan runoff air menuju badan air, menyapu berbagai jenis kotoran dan sampah yang ada di daratan masuk ke dalam badan air, sehingga ekosistem air semakin tercemar dan kualitasnya menurun.


Gambar 1. Banjir di Lousiana, Amerika Serikat

            Selain berlebihnya air akibat hujan yang ekstrem, kekeringan mungkin juga terjadi di beberapa daerah. Hal ini membuat badan air semakin surut, bahkan hingga tidak ada air sama sekali, sehingga organisme yang tinggal di dalam air tersebut tidak dapat hidup. Kekeringan ini juga membuat sistem irigasi pada sektor agriculture berkurang, membuat tanaman dan tanah menjadi kering, sehingga menyebabkan gagal panen.




Gambar 2. Prediksi Pengaruh Panen Jagung, Nasi, Kentang, dan pada Tahun 2050


Ekosistem Kutub dan Laut
            Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa es akan mencair pada suhu yang tinggi. Kawasan kutub yang telah meningkat suhunya sebanyak 5oC sejak 100 tahun yang lalu pastinya juga merasakan hal yang sama, yaitu mencairnya es. Pencairan es pada kutub utara sudahlah sangat terlihat. Hal ini membuat hewan yang tinggal di kutub utara, seperti beruang kutub, anjing laut, dan penguin kehilangan habitatnya.


Gambar 3. Perbandingan Lapisan Es di Kutub Utara pada Tahun 1979 dan 2003


            Ketika es mencair, fasanya berubah menjadi air dan bercampur dengan air laut. Hal ini memicu terjadinya sea level rise atau kenaikan muka air laut. Seolah-olah memang tidak terasa dampaknya, namun beberapa daerah di bagian utara bumi merasakan dampaknya. Beberapa kota di Amerika Serikat mulai sering mengalami banjir dari air laut akibat fenomena ini. Apabila seluru es kutub mencair, akan banyak daratan yang terbanjiri air laut.


Gambar 4. Air Laut Meluap di Carolina Selatan, Amerika Serikat untuk Pertama Kalinya

Selain mencairkan es kutub, penaikan suhu akbat GRK juga membuat air laut di beberapa daerah menjadi lebih hangat. Ditambah dengan tingginya konsentrasi CO2 yang larut pada air laut, laut menjadi bersifat lebih asam. Implikasinya, oksigen menjadi berkurang, sehingga organisme di dalam laut menjadi terganggu dan bahkan memicu kematian. Salah satu yang mendapat dampak dari hangat dan asamnya air laut ini adalah terumbu karang. Karena kekurang oksigen, terumbu karang mengalami proses bleaching dan berujung kematian.


Gambar 5. Perbandingan Terumbu Karang Setelah dan Sebelum Proses Bleaching di Great Coral Reef

Ekosistem Hutan
            Tumbuhan yang hidup di hutan umumnya memiliki temperatur optimum untuk tetap tumbuh. Namun, karena meningkatnya temperatur di daerah hutan, seperti di Hutan Amazon, beberapa pohon tidak dapat beradaptasi dengan perubahan temperaturnya dan berujung pada kepunahan. Selain itu, di beberapa daerah, kebakaran hutan semakin sering terjadi akibat tidak menentunya siklus el nino.


Gambar 6. Kebakaran Hutan di Riau, Indonesia

Ekosistem Gurun
            Sebagai kawasan yang memang sudah sangat panas, gurun rasanya tidak begitu terkena dampak dari pemanasan global ini. Namun tak disangka, karena cuaca yang ekstrem akibat perubahan iklim, Gurun Sahara, di Algeria, terjadi salju untuk pertama kalinya sejak 40 tahun yang lalu pada pertengahan Desember 2016 lalu. Hal ini semakin membuktikan seberapa besar dampak dari perubahan iklim yang bermula dari GRK ini.


Gambar 7. Salju Turun di Gurun Sahara untuk Pertama Kalinya sejak 40 Tahun
(sumber : Karim Bouchetata, Geoff Robinson Photograph.



B. Dampak pada Kesehatan Manusia

            Selain berdampak terhadap ekosistem, manusia sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri tentunya dapat terkena dampak dari ektremnya efek rumah kaca, terutama dari bidang kesehatan. Pemanasan global maupun perubahan iklim dapat memberi dampak kepada manusia secara langsung dari kondisi cuaca yang ekstrem ataupun secara tidak langsung dengan munculnya potensi-potensi penyebab penyakit yang dahulu tidak ada. Berikut adalah dampak pada kesehatan manusia yang diakibatkan oleh ekstremnya efek rumah kaca dari GRK.

Heat Stress
            Dalam kesehatan dan keselamatan kerja, dikenal istilah heat stress, yakni reaksi fisik dan fisiologis manusia terhadap suhu di luar kenyamanan bekerja. Hal ini dapat juga terjadi di mana saja, terutama ketika manusia merasakan temperatur yang terlalu tinggi, melebihi biasanya. Maka dari itu, peningkatan temperatur di beberapa daerah membuat kasus heat stress yang terkena pada manusia semakin meningkat. Parahnya, kasus yang sering terjadi langsung sampai ke tahap heat stroke, atau gangguan mental hingga pingsan karena terlalu drastisnya peningkatan suhu tubuh akibat suhu lingkungan.


Gambar 8. Musim Panas di Jepang yang Setiap Tahunnya Memakan Korban Jiwa Akibat Heat Stroke

Dampak dari Kondisi Kualitas Udara
            Walaupun beberapa GRK tidak memberi dampak kesehatan apapun kepada manusia ketika masuk ke dalam saluran pernafasan, namun peningkatan temperatur dan perubahan ekstrem cuaca yang disebabkan GRK dapat memperparah kualitas udara ambien. Salah satu polutan yang meningkat jumlahnya di troposfer akibat hangatnya udara adalah O3, yang dapat langsung menyebabkan kematian instan. Selain itu, dampak kebakaran hutan yang disebabkan el nino yang tidak menentu juga mengemisikan berbagai senyawa gas yang dapat merusak kesehatan manusia, antara lain asap dan PM2,5.


Gambar 9. Beijing, Republik Rakyat China yang Setiap Harinya Diselimuti Smog

Dampak dari Cuaca Ekstrem
            GRK sudah tidak diragukan lagi merupakan penyebab dari kondisi cuaca yang ekstrem, seperti hujan deras yang berujung banjir dan badai. Dampak pascabencana dari kondisi cuaca ekstrem ini juga dapat mengganggung kesehatan manusia. Karena banyak infrastruktur yang rusak akibat dari bencana seperti badai, akses air bersih dan makanan akan semakin sulit, yang dapat membuat korban kekurangan nutrisi atau bahkan terkidap penyakit. Selain itu, secara psikologis, bencana seperti badai dapat menyebabkan penyakit mental, seperti depresi dan post-traumatic stress disorder (PSTD).


Gambar 10. Korban Angin Puting Beliung Katrina di Lousiana, Amerika Serikat

Vectorborne Disease
            Vectorborne disease adalah penyakit yang ditransmisikan melalui vektor-vektor tertentu, seperti nyamuk dan kutu. Vektor-vektor ini dapat mengangkut sumber penyakit berupa virus, bakteri, ataupun protozoa. Perubahan temperatur dan exremnya cuaca membuat penyakit jenis ini semakin mewabah secara endemik ataupun pandemik, bahkan yang sebelumnya belum pernah ditemukan penyakitnya. Beberapa kasus vectorborne disease beberapa tahun terakhir yang banyak beredar adalah penyakit Zika yang divektori oleh nyamuk tipe aedes.


Gambar 11. Nyamuk Aedes aegypti sebagai Vektor Penyebaran Virus Zika

Water-Related Illness
            Selain semakin terkontaminasinya badan air akibat kondisi cuaca ekstrem dan runoff, meningkatnya temperatur perairan juga memicu aktifnya berbagai jenis patogen, seperti virus, bakteri, dan parasit. Hal ini tentunya juga menurunkan kualitas air dan meninggikan resiko gangguan kesehatan, terutama gangguan gantrointestinal, bila dikonsumsi. Selain itu, laut yang hangat juga dapat meninggikan konsentrasi merkuri pada makanan laut.


C. Dampak pada Hewan dan Tumbuhan

            Sama halnya dengan manusia yang merupakan mahkluk hidup, hewan dan tumbuhan juga terkena dampak dari efek rumah kaca yang disebabkan oleh GRK. Umumnya, dampak yang dirasakn oleh hewan dan tumbuhan sangat erat hubungannya dengan dampak yang didapat oleh ekosistem yang menjadi habitat mereka. Bila ekosistem tersebut berubah, namun hewan dan tumbuhan tidak dapat ikut beradaptasi, hewan dan tumbuhan tersebut dapat berujung pada kematian hingga kepunahan.


Gambar 12. Beruang Kutub yang Semakin Kehilangan Lapisan Es untuk Berpijak di Kutub Utara


Daftar Pustaka
BBC News. 2016. “Zika Virus Could Become ‘Explosive Pandemic’”. http://www.bbc.com/news/world-us-canada-35425731. 31 Januari 2017 pukul 03.39 WIB.
BBC News. 2017. “Beijing: The City Where You Can’t Escape Smog”. http://www.bbc.com/news/magazine-38587580. 31 Januari 2017 pukul 03.30 WIB.
Blasing, T.J. 2016. “Recent Greenhouse Gas Concentrations” http://cdiac.ornl.gov/pns/current_ghg.html. 31 Januari 2017 pukul 01.27 WIB.
Cluff, Renee. 2016 “Great Barrier Reef’s Bleaching to Serious Hinder This Year’s Spawning Event”. http://www.abc.net.au/news/2016-09-13/great-barrier-reef-spawning-event-to-be-hampered-by-bleaching/7840804. 31 Januari 2017 pukul 02.59 WIB.
Dive and Discover. “The Poles: Human Impacts”. http://www.divediscover.whoi.edu/polar/impact.html. 31 Januari 2017 pukul 03.09 WIB.
Endangered Polar Bears.“Global Warming and Climate Change Effects”. https://sites.google.com/a/d303.org/harry--endangered-polar-bears/global-warming-and-climate-change. 31 Januari 2017 pukul 03.44 WIB.
Environmental Protection Agency. “Climate Change Indicator: Greenhouse Gasses” https://www.epa.gov/climate-indicators/greenhouse-gases. 31 Januari 2017 pukul 01.36 WIB.
Environmental Protection Agency. “Climate Change on Water Resources”  https://www.epa.gov/climate-impacts/climate-impacts-water-resources. 31 Januari 2017 pukul 01.59 WIB.
Environmental Protection Agency. “Greenhouse Effect”. https://www3.epa.gov/climatechange/kids/basics/today/greenhouse-effect.html. 31 Januari 2017 pukul 00.30 WIB.
Gillis, Justin. 2016. “Flooding of Coast Caused by Global Warming Has Already Begun”. https://www.nytimes.com/2016/09/04/science/flooding-of-coast-caused-by-global-warming-has-already-begun.html?_r=0. 31 Januari 2017 pukul 03.04 WIB.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2014. “Fifth Assessment Report” https://www3.epa.gov/climatechange/kids/basics/today/greenhouse-gases.html. 31 Januari 2017 pukul 00.52 WIB.
Ismail A. 2011. “Heat Stress”  http://healthsafetyprotection.com/heat-stress/. 31 Januari 2017 pukul 02.41 WIB.
Jakarta Globe. “Environmental Group to File New Plice Reports Against Riau Forest Burners.” http://jakartaglobe.id/news/environment-group-to-file-new-police-reports-against-riau-forest-burners/. 31 Januari 2017 pukul 03.36 WIB.
Japan Times. 2015. “Days High Temperatures, Theree Elderly Sisters Found Dead in Tokyo House”. http://www.japantimes.co.jp/news/2015/08/08/national/days-high-temperatures-three-elderly-sisters-found-dead-tokyo-house/#.WJBKA1OKS00. 31 Januari 2017 pukul 03.27 WIB.
Ma, Qiancheng. 1998. “Greenhouse Gasses: Refining the Role of Carbon Dioxide” https://www.giss.nasa.gov/research/briefs/ma_01/. 31 Januari 2017 pukul 00.38 WIB.
Merriam Webster. “Greenhouse Gas”. https://www.merriam-webster.com/dictionary/greenhouse%20gas. 31 Januari 2017 pukul 00.32 WIB.
Molloy, Mark. 2016. “Stunning Photo Capture Rare Snow in The Sahara Desert” http://www.telegraph.co.uk/news/2016/12/20/stunning-photos-capture-rare-snow-sahara-desert/. 31 Januari 2017 pukul 02.30 WIB.
National Geographic. “How to Live With It: Crop Changes”. http://www.nationalgeographic.com/climate-change/how-to-live-with-it/crops.html. 31 Januari 2017 pukul 03.14 WIB.
National Oceanic and Atmospheric Administration. “Monitoring Reference: Greenhouse Gasses” https://www.ncdc.noaa.gov/monitoring-references/faq/greenhouse-gases.php. 31 Januari 2017 pukul 01.03 WIB.
Reinis, Samantha. 2015. “19 Stunning Pictures of Hurricane Katrina’s Afftermath”. http://dailysignal.com/2015/08/27/19-stunning-pictures-of-hurricane-katrinas-aftermath/. 31 Januari 2017 pukul 03.35 WIB.
Upton, John. 2016. “Lousiana Floods Directly Linked to Climate Change”. http://www.climatecentral.org/news/louisiana-floods-directly-linked-to-climate-change-20671. 31 Januari 2017 pukul 03.20 WIB.
World Health Organization. 2016. “Vectorborne Disease” http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs387/en/. 31 Januari 2017 pukul 03.14 WIB.
World Wild Fund. 2016. “The Effects of Climate Change” https://www.wwf.org.uk/updates/effects-climate-change. 31 Januari 2017 pukul 01.53 WIB.

DAMPAK PENCEMAR UDARA KRITERIA


DAMPAK KESEHATAN

Sumber [1]


1. Sulfur Dioksida

Pencemaran SO2 menimbulkan dampak terhadap manusia dan hewan serta kerusakan pada tanaman yang terjadi pada kadar sebesar 0,5 ppm. Pengaruh utama polutan SO2 terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kadiovaskular (Anonim, 2004). Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah. Kadar SO2 yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Pengaruh Sulfur Dioksida Berdasarkan Konsentrasi
Konsentrasi (ppm)
Pengaruh
3-5
Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari bahaya
8-12
Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan
20
Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata
20
Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk
20
Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi dalam waktu lama
50-100
Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak singkat (30 menit)
400-500
Berbahaya meskipun kontak secara singkat


2. Nitrogen Dioksida

Nitrogen dioksida (NO2) merupakan suatu gas yang berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun dari pada NO. Namun selama ini belum pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Pada udara ambien yang normal, NO2 dapat bersifat racun bagi paru-paru dan dapat menyebabkan kekejangan serta kelumpuhan pada sistem syaraf (Anonim, 2004).
Berdasarkan studi menggunakan binatang percobaan, pengaruh yang membahayakan seperti misalnya meningkatnya kepekaan terhadap radang saluran pernafasan, dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 µg/m3 . Percobaan pada manusia menyatakan bahwa kadar NO2 sebsar 250 µg/m3 dan 500 µg/m3 dapat mengganggu fungsi saluran pernafasan pada penderita asma dan orang sehat.

3. Karbon Monoksida

Karakteristik biologis yang paling penting dari CO adalah kemampuannya untuk berikatan dengan hemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan oksihemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini dapat berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang stabil tersebut (Anonim2, 2004). Dampak keracunan CO ini ternyata sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah.
Dampak dari CO bervariasi tergantung dari status kesehatan seseorang pada saat terpapar. Pada beberapa orang yang berbadan gemuk dapat mentolerir paparan CO sampai kadar HbCO dalam darahnya mencapai 40 % dalam waktu singkat. Tetapi seseorang yang menderita sakit jantung atau paru-paru akan menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar 5– 10 %. Pengaruh CO dalam kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular juga telah banyak diketahui (Anonim, 2004). 
Walaupun kadar CO yang tinggi dapat menyebabkan perubahan tekanan darah, meningkatkan denyut jantung, ritme jantung menjadi abnormal gagal  jantung, dan kerusakan pembuluh darah periferal, tidak banyak didapatkan data tentang pengaruh paparan CO kadar rendah terhadap sistem kardiovaskular. Namun tidak cukup bukti yang menyatakan bahwa karbon monoksida menyebabkan penyakit jantung atau paru-paru, tetapi jelas bahwa CO mampu mengganggu transport oksigen ke seluruh tubuh yang dapat berakibat serius pada seseorang yang telah menderita sakit jantung atau paru-paru. 
Studi epidemiologi tentang kesakitan dan kematian akibat penyakit jantung dan kadar CO di udara yang dibagi berdasarkan wilayah, sangat sulit untuk ditafsirkan. Namun dada terasa sakit pada saat melakukan gerakan fisik, terlihat  jelas akan timbul pada pasien yang terpapar CO dengan kadar 60 mg/m3, yang menghasilkan kadar HbCO mendekati 5%. Walaupun wanita hamil dan janin yang dikandungnya akan menghasilkan CO dari dalam tubuh (endogenous) dengan kadar yang lebih tinggi, paparan tambahan dari luar dapat mengurangi fungsi oksigenasi jaringan dan plasental, yang menyebabkan bayi dengan berat badan rendah (Anonim, 2004). Berikut ini data tabel hubungan konsentrasi CO dalam darah dengan kesehatan.

Tabel 2. Konsentrasi CO dalam Darah
Konsentrasi CO di udara (ppm)
Konsentrasi ekuilibrium COHb di dalam darah (%)
10
20
30
50
70
2.1
3.7
5.3
8.5
11.7

Tabel 3. Konsentrasi COHb dan Pengaruhnya
Konsentrasi COHb dalam darah (%)
Pengaruhnya terhadap kesehatan
<1.0
1.0-2.0



>= 5.0
10.0-80.0
Tidak ada pengaruhnya
Penampilan agak normal
Pengaruhnya terhadap sistem saraf sentral, reaksi panca indra tidak normal, benda terlihat agak kabur

Perubahan fungsi jantung dan pulmonary
Kepala pening, mual, berkunang-kunang, pingsan, kesukaran bernafas, kematian


4. Timbal (Pb)

Pengaruh Pb pada kesehatan yang terutama adalah pada sintesa haemoglobin dan sistem pada syaraf pusat maupun syaraf tepi. Pengaruh pada sistem pembentukkan Hb darah yang dapat menyebabkan anemia, ditemukan pada kadar Pb-darah kelompok dewasa 60-80µg/100 ml dan kelompok anak > 40 µg/100 ml. Pada kadar Pb-darah kelompok dewasa sekitar 40 µg/100 ml diamati telah ada gangguan terhadap sintesa Hb, seperti meningkatnya ekskresi asam aminolevulinat (ALA). Pengaruh pada enzim §-ALAD dapat diamati pada kadar Pb-darah sekitar 10µg/100 ml. Akumulasi protoporfirin dalam eritrosit (FEP) yang merupakan akibat dari terhambatnya aktivitas enzim ferrochelatase , dapat terlihat pada wanita edngan kadar Pb-darah 20-30 µg/100 ml, pada pria dengan kadar 25-35 µg/100 ml, dan pada anak dengan kadar > 15 µg/100 ml. Pengaruh Pb terhadap hambatan aktivitas enzim ALAD tidak menyatakan adanya keracunan yang membahayakan, tetapi dapat menunjukkan adanya pajanan Pb terha dap tubuh. Meningkatnya ekskresi ALA dan akumulasi FEP dalam urin mencerminkan adanya kerusakan fungsi fisiologi yang pada akhirnya dapat merusak fungsi metokhondrial.
Pengaruh pada syaraf otak anak diamati pada kadar 60µg/100 ml, yang dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan mental anak. Penelitian pada pengaruh Pb yang dikaitkan IQ anak telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum konsisten. Sistem syaraf pusat anak lebih peka dibandingkan dengan orang dewasa. Gangguan terhadap fungsi syaraf orang dewasa berdasarkan uji psikologi diamati pada kadar Pb darah 50 µg/100 ml. Sedangkan gangguan sistem syaraf tepi diamati pada kadar Pbdarah 30 µg/100 ml. Timbel dapat menembus plasenta, dan karena perkembangan otak yang khususnya peka terhadap logam ini, maka janinlah yang terutama mendapat resiko.

5. Ozon

Karena ozon lebih rendah lagi larutannya dibandingkan SO2 maupun NO2, maka hampir semua ozon dapat menembus sampai alveoli. Ozon merupakan senyawa oksidan yang paling kuat dibandingkan NO2 dan bereaksi kuat dengan jaringan tubuh. Evaluasi tentang dampak ozon dan oksidan lainnya terhadap kesehatan yang dilakukan oleh WHO task group menyatakan pemajanan oksidan fotokimia pada kadar 200-500 µg/m³ dalam waktu singkat dapat merusak fungsi paru-paru anak, meningkat frekwensi serangan asma dan iritasi mata, serta menurunkan kinerja para olaragawan.
Oksidan fotokimia masuk kedalam tubuh dan pada kadar subletal dapat mengganggu proses pernafasan normal, selain itu oksidan fotokimia juga dapat menyebabkan iritasi mata. Beberapa gejala yang dapat diamati pada manusia yang diberi perlakuan kontak dengan ozon, sampai dengan kadar 0,2 ppmtidak ditemukan pengaruh apapun, pada kadar 0,3 ppm mulai terjadi iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan Ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing berat dan kehilangankoordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon dengan kadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkanedema pulmonari.

6. Partikulat (TSP, PM10, PM 2,5)

Partikulat adalah padatan ataupun likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap yang berdiameter sangat kecil (mulai dari <1 mikron sampai dengan 500 mikron), yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Disamping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil yang dapat terhirup (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam  waktu yang lama. Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10 µm (PM10). PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya
Partikel inhalable juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu partikel yang terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang mengalami reaksi fisik-kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO2 dan NOx. Umumnya partikel sekunder berukuran 2,5 mikron atau kurang. Proporsi mayor dari PM2,5 adalah amonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat dan karbon organic sekunder. Partikel-partikel ini terbentuk di atmosfer dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar udara lintas batas yang ditransportasikan oleh pergerakan angin ke tempat yang jauh dari sumbernya. Partikel sekunder PM2,5 dapat menyebabkan dampak yang lebih berbahaya terhadap kesehatan bukan saja karena ukurannya yang memungkinkan untuk terhisap dan masuk lebih dalam ke dalam sistem pernafasan tetapi juga karena sifat kimiawinya.

Partikel sulfat dan nitrat yang inhalable serta bersifat asam akan bereaksi langsung di dalam sistem pernafasan, menimbulkan dampak yang lebih berbahaya daripada partikel kecil yang tidak bersifat asam. Partikel logam berat dan yang mengandung senyawa karbon dapat  mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel pada permukaannya. Termasuk ke dalam partikel inhalable adalah partikel Pb yang diemisikan dari gas buang kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar mengandung Pb. Timbal adalah pencemar yang diemisikan dari kendaraan bermotor dalam bentuk partikel halus berukuran lebih kecil dari 10 dan 2,5 mikrometer.

DAMPAK TERHADAP EKOSISTEM DAN LINGKUNGAN


Sumber [2]


1. Sulfur Dioksida


Sulfur dioksida merupakan salah satu kontributor utama hujan asam. Pada dasarnya hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, yakni SO2 dan NOx. Sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer di seluruh dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan yang terjadi secara alami pula. Namun 50% lainnya berasal dari kegiatan manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan emisi SO2 antara lain peleburan logam dan pembangkit listrik. Terjadinya hujan asam harus diwaspasai karena dampak yang ditimbulkan bersifat global dan dapat menganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan spesies yang ada didalamnya sulit bertahan. Jenis plankton dan invertebrate adalah makhluk yang akan pertama kali mati akibat pengaruh pengasaman. Jika pH pada danau dibawah 5, lebih dari 75% dari spesies ikan akan hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan ekosistem yang telah berjalan. 

2. Nitrogen dioksida


Oksida nitrogen juga merupakan kontributor utama smog dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil membentuk ozon dan oksidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia, dan dengan air hujan menghasilkan asam nitrat dan menyebabkan hujan asam. Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan bumi) dapat membahayakan tanaman, pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam berat dari tanah serta mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan memusnahkan kehidupan air.

3. Karbon Monoksida


Karbon monoksida pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan gangguan ekosistem serta lingkungan. Akibatnya, kualitas udara menjadi menurun akibat karbon monoksida dalam konsentrasi yang jauh melebihi ambang batas yang seharusnya. 

4. Timbal


Transportasi dan distribusi timbal dari sumber emisi utama sebagian besar melalui medium udara. Ketika timbal keluar melalui aliran udara, maka sekitar 20% timbal akan terdispersi menyebar secara luas. Di dalam tanah, timbal terakumulasi, terutama oleh tanah dengan kandungan organic tinggi. Timbal disimpan di dalam tanah kemudian ditransfer hingga lapisan atas permukaan tanah dimana ia dapat bertahan selama bertahun-tahun bahkan hingga 2000 tahun. Pada ekosistem yang belum dijamah, material organic pada bagian atas permukaan tanah dapat menahan timbal. Sedangkan pada tanah yang sudah dijamah, timbal akan bercampur dengan tanah hingga kedalaman tertentu bahkan hingga zona akar. Timbal yang berada di dalam tanah dapat  berpindah dan menempel pada mikroorganisme dan mempengaruhi rantai makanan. 

5. Ozon


Ozon dapat memiliki efek merugikan pada tanaman dan ekosistem. Efek ini meliputi:
  • hilangnya keanekaragaman spesies (kurang berbagai tanaman, hewan, serangga, dan ikan)
  • perubahan pada berbagai spesifik tanaman ini di hutan
  • perubahan kualitas habitat
  • perubahan air dan nutrisi siklus
  • mengganggu kemampuan tanaman untuk memproduksi dan menyimpan makanan, membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit tertentu, serangga, polutan lainnya, kompetisi dan cuaca yang keras;
  • merusak daun pohon dan tanaman lainnya, berdampak negatif pada penampilan vegetasi perkotaan, serta vegetasi di taman nasional dan tempat rekreasi
  • mengurangi pertumbuhan hutan dan hasil panen, berpotensi berdampak keragaman spesies dalam ekosistem

6. Partikulat (TSP, PM10, PM 2,5)


Partikel dapat terbawa hingga jarak jauh oleh angin dan kemudian menetap di tanah atau air. Tergantung pada komposisi kimianya, efek dari pengendapan partikulat dapat mencakup:

  • ·         mengubah keseimbangan nutrisi di perairan pesisir dan lembah sungai yang besar
    ·         penipisan nutrisi dalam tanah
    ·         merusak hutan sensitif dan tanaman pertanian
    ·         mempengaruhi keragaman ekosistem
    ·         berkontribusi terhadap efek hujan asam

DAMPAK TERHADAP HEWAN

Sumber [3]


1. Sulfur dioksida


Hewan memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam. Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati pada saat pH tanah meningkat, karena sifat hewan mikrosopis adalah sangat spesifik dan juga rentan pada perubahan lingkungan yang signifikan atau ekstrim. Jika jumlah produsen atau tumbuhan menurun, maka spesies hewan akan kekurangan bahan makanan sehingga populasi dari hewan akan berkurang pula. Berbagai penyakit juga dapat ditimbulkan akibat kulit hewan yang terkena air dengan tingkat keasaman tinggi. Hal ini berujung pada kepunahan spesies dari hewan. 

2. Nitrogen Dioksida


Sama seperti halnya sulfur dioksida, nitrogen dioksida akan mengancam keberadaan spesies hewan di dunia akibat hujan asam yang ditimbulkannya. Akibat timbulnya hujan asam, tumbuhan pembuat makanan produksinya akan menurun. Hal ini berimbas pada penurunan spesies hewan herbivora yang kekurangan bahan makanan. Spesies hewan tanah mikroskopis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga akan mati pada saat pH tanah meningkat, karena hewan spesies ini rentan terhadap perubahan lingkungan yang dirasa ekstrim. Air asam juga mampu menimbulkan berbagai penyakit kepada hewan , salah satunya penyakit kulit akibat tetesan air yang terkena pada hewan.

3. Karbon Monoksida


Akibat dari produksi karbon monoksida yang berlebihan, hal ini dapat mempengaruhi terjadi efek rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Jika pemanasan global semakin parah, maka dapat terjadi perubahan iklim yang mampu mengancam habitat hewan karena tidak mampu lagi bertahan hidup akibat perubahan kondisi hidup sekitarnya yang berubah secara ekstrim.  Selain itu, sama seperti yang terjadi pada manusia, hewan juga dapat mengalami keracunan karbon monoksida akibat hemoglobin pada darah bukan mengikat oksigen, melainkan mengikat karbon monoksida. Hal ini dapat menyebabkan kematian pada hewan. 

4. Timbal


Timbal  mempengaruhi sistem saraf pusat hewan dan menghambat kemampuan mereka untuk mensintesis sel darah merah. konsentrasi darah utama di atas 40 mg / dl dapat menghasilkan gejala klinis diamati pada hewan domestik. Kalsium dan fosfor dapat mengurangi penyerapan timbal dalam proses pencernaan. Laporan US EPA menyatakan bahwa diet teratur 2-8 mg timbal per kilogram berat badan per hari, selama jangka waktu tertentu, akan menyebabkan kematian pada kebanyakan hewan. hewan ternak  dapat secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pakan  yang terkontaminasi oleh timbal di udara dan secara tidak langsung oleh timbal  yang diserap melalui akar tanaman. Invertebrata juga dapat mengakumulasi timbal  hingga mencapai tahap toxic bagi predator mereka.
Keberadaan timbal dapat mengancam ekosistem. Setelah tiga sampai sepuluh hari  unggas air mengonsumsi timbal, racun akan mencapai aliran darah dan dibawa ke organ utama, seperti jantung, hati dan ginjal. Dengan 17 hari 21 burung dapat  jatuh ke daratan hingga mati. Setelah mengonsumsi timbal, kadar toksiksitas telah diamati pada  angsa Magpie , Black Swan, dan  beberapa spesies bebek lainnya (termasuk bebek hitam dan bebek Musk) dan spesies pandir . Timbal organik jauh lebih mudah diambil oleh burung dan ikan. Organisme air mengambil timbal anorganik melalui transfer timbal dari air dan sedimen; ini adalah proses yang relatif lambat. Timbal organic dapat dengan cepat diambil oleh organisme air dari air dan sedimen. Hewan air dipengaruhi oleh timbal pada konsentrasi air yang lebih rendah daripada yang diperkirakan sebelumnya aman bagi satwa liar. 

5. Ozon


Akibat ekosistem yang terganggu oleh produksi ozon, maka rantai makanan juga akan ikut terganggu. Sehingga, hal ini akan mengancam keberadaan populasi hewan sehingga ekosistem yang berjalan tidak seimbang. Faktor yang utama mengakibatkan hal ini adalah terancamnya tumbuhan-tumbuhan autotrof, yang merupakan produsen dari rantai makanan, dimana tumbuhan merupakan sumber makanan utama dari hewan herbivora. 

6. Partikulat (TSP, PM10, PM 2,5)


Partikulat ikut berperan dalam terganggunya pertumbuhan tanaman, hujan asam, dan berbagai kerusakan ekosistem lain yang telah dijelaskan sebelumnya. Akibatnya, populasi hewan akan terancam akibat tumbuhan-tumbuhan autotroph tidak dapat memproduksi makanan dan menganggu siklus rantai makanan yang berjalan.


DAMPAK TERHADAP TUMBUHAN

Sumber [4]

1. Sulfur Dioksida


Walaupun SO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia hanya merupakan bagian kecil dari SO2 yang ada di atmosfer, namun gas ini memberikan pengaruh serius karena dapat langsung meracuni makhluk disekitarnya. Selain itu, sulfur dioksida juga berbahaya bagi tanaman. Adanya gas ini pada konsentrasi tinggi dapat membunuh jaringan pada daun, pinggiran daun dan daerah diantara tulang-tulang daun rusak. Pada tumbuhan, daun adalah bagian yang paling peka terhadap pencemaran SO2. Pada bagian daun pada tumbuhan yang tercemar, akan terdapat bercak atau noda putih atau coklat merah pada permukaan daun. Dalam beberapa hal, kerusakan pada tumbuhan ini disebabkan karena SO2 dan SO3 di udara, yang masing-masing membentuk asam sulfit dan asam sulfat. Suspensi asam di udara ini dapat terbawa turun ke tanah bersama air hujan dan mengakibatkan air hujan bersifat asam. Sifat asam dari air hujan ini dapat menyebabkan korosif, termasuk bahan pakian dan tumbuhan.

2. Nitrogen dioksida


Pencemaran udara telah menghambat fotosintesis dan immobilisasi hasil fotosintesis dengan pembentukan metabolit sekunder yang potensial beracun. Sebagai akibatnya akar kekurangan energi, karena hasil fotosintesis tertahan di tajuk. Sebaliknya tahuk mengakumulasikan zat yang potensial beracun tersebut. Dengan demikian pertumbuhan akar dan mikoriza terhambat sedangkan daunpun menjadi rontok. Pohon menjadi lemah dan mudah terserang penyakit dan hama.
Penurunan pH tanah akibat deposisi asam juga menyebabkan terlepasnya aluminium dari tanah dan menimbulkan keracunan. Akar yang halus akan mengalami nekrosis sehingga penyerapan hara dan iar terhambat. Hal ini menyebabkan pohon kekurangan air dan hara serta akhirnya mati. Hanya tumbuhan tertentu yang dapat bertahan hidup pada daerah tersebut, hal ini akan berakibat pada hilangnya beberapa spesies. Ini juga berarti bahwa keragaman hayati tamanan juga semakin menurun.
Kadar NO2 sebesar 25 ppm yang pada umumnya dihasilkan adari emisi industri kimia, dapat menyebabkan kerusakan pada banayak jenis tanaman. Kerusakan daun sebanyak 5 % dari luasnya dapat terjadi pada pemajanan dengan kadar 4-8 ppm untuk 1 jam pemajanan. Tergantung dari jenis tanaman, umur tanaman dan lamanya pemajanan, kerusakan terjadi dapat bervariasi. Kadar NO2 sebesar 0,22 ppm dengan jangka waktu pemajanan 8 bualan terus menerus, dapat menyebabkan rontoknya daun berbagai jenis tanaman.

 3. Karbon Monoksida

Sama seperti yang terjadi pada hewan, tumbuhan yang tidak mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan suasana yang ekstrim, tidak akan mampu bertahan hidup. Karbon monoksida merupakan salah satu gas pencemar udara yang dapat mengakibatkan pemanasan global sehingga dapat terjadi perubahan iklim yang mampu merubah ekosistem serta siklus hidup flora saat ini. 

4. Timbal


Tanaman di tanah cenderung menyerap timbal dari tanah dan mempertahankan sebagian besar timbal di dalam akar. Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa dedaunan tanaman juga dapat menyerap timbal (dan ada pula kemungkinan bahwa timbal dapat berpindah menuju bagian lain dari tanaman). Penyerapan timbal oleh akar tanaman dapat dikurangi dengan menambahkan kalsium dan fosfor ke dalam tanah. Beberapa spesies tanaman memiliki kapasitas untuk mengakumulasi konsentrasi timbal yang tinggi.
Pori-pori pada daun tanaman membiarkan karbon dioksida yang diperlukan untuk fotosintesis dan memancarkan oksigen. Polusi dari timbal menutupi permukaan daun dan mengurangi jumlah cahaya yang dapat diserap oleh daun. Hal ini menyebabkan pengerdilan pertumbuhan atau membunuh tanaman dengan mengurangi laju fotosintesis, menghambat respirasi, mendorong perpanjangan sel tumbuhan yang mempengaruhi perkembangan akar 0; dengan menyebabkan penuaan pra-matang. Beberapa bukti menunjukkan bahwa timbal dapat mempengaruhi genetika populasi. Semua efek ini telah diamati dalam sel terisolasi atau di hidroponik tumbuh tanaman dalam larutan dari sekitar 1-2 ppm timbal dalam tanah yang lembab.
Timbal dalam udara dapat ditransfer pada tanaman secara langsung, jatuh melalui udara atau secara tidak langsung melalui tanah. Pola dan tingkat akumulasi timbal tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan pertumbuhan vegetasi; yaitu, periode pertumbuhan aktif di musim semi dibandingkan dengan periode pertumbuhan yang rendah seperti pada musim gugur dan musim dingin.

5. Ozon


Ozon memasuki daun melalui stomata selama pertukaran gas normal. Sebagai oksidan yang kuat, ozon (atau produk sekunder yang dihasilkan dari oksidasi oleh ozon seperti spesies oksigen reaktif) menyebabkan beberapa jenis gejala termasuk klorosis dan nekrosis. Hal ini hampir tidak mungkin untuk mengatakan apakah klorosis daun atau nekrosis di lapangan disebabkan oleh ozon atau penuaan normal. Namun, terdapat beberapa jenis gejala tambahan yang umumnya terkait dengan paparan ozon, salah satunya adalah adanya flek (bintik kecil berdiameter kurang dari 1 mm ), stipples (daerah kecil berpigmen gelap berdiameter sekitar 2-4 mm), bronzing dan kemerahan.
Gejala pemaparan ozon biasanya terjadi antara urat-urat pada permukaan daun bagian atas yang lebih tua dan daun setengah baya, selain itu juga dapat melibatkan kedua permukaan daun (bifacial) untuk beberapa spesies. Jenis dan tingkat keparahan kerusakan tergantung pada beberapa faktor termasuk durasi dan konsentrasi paparan ozon, kondisi cuaca dan genetika tanaman. Salah satu atau semua gejala ini dapat terjadi pada beberapa spesies dengan kondisi tertentu, dan gejala spesifik pada satu spesies dapat berbeda dari gejala yang lain. Dengan paparan ozon harian yang terus menerus, gejala klasik (stippling, flecking, bronzing, dan kemerahan) secara bertahap dikaburkan oleh klorosis dan nekrosis.
Studi yang dilakukan pada ruang lapangan telah berulang kali diverifikasi bahwa flecking, stippling, bronzing dan kemerahan pada daun tanaman merupakan respon klasik untuk tingkat ambient ozon. Tanaman yang ditanam di suatu ruang menerima udara yang telah disaring dengan menggunakan arang aktif (untuk mengurangi konsentrasi ozon ) tidak menghasilkan gejala yang terjadi pada tanaman yang ditanam di udara yang tidak difilter terlebih dahulu.

6. Partikulat (TSP, PM10, PM 2,5)


Paparan konsentrasi massa tertentu PM di udara dapat menyebabkan tanggapan phytotoxic yang berbeda, tergantung pada campuran tertentu dari partikel diendapkan. deposisi partikel dan efek pada vegetasi terhindarkan meliputi :
(1) nitrat dan sulfat dan hubungan antar keduanya dalam bentuk deposisi asam dan pengasaman  
(2) elemen dan logam berat, termasuk timah. 
Debu dengan nilai pH ≥ 9, dapat menyebabkan kerusakan secara langsung pada jaringan daun di mana mereka disimpan atau tidak langsung melalui perubahan pH tanah dan debu yang membawa garam larut beracun juga akan memiliki efek yang merugikan pada tanaman pertukaran .Energi antara vegetasi dan lingkungan sekitarnya melibatkan penyerapan dan konversi radiasi gelombang pendek dan emisi radiasi gelombang panjang. Debu diendapkan pada permukaan daun mengubah sifat-sifatnya yang optik, terutama reflektansi permukaan dalam gelombang kisaran radiasi infra merah terlihat dan jumlah cahaya yang tersedia untuk fotosintesis. Ketika debu mengubah sifat optik dari permukaan yang tertutup salju, hal ini dapat menyebabkan suhu permukaan vegetasi 4-11,5 oC di atas lingkungan ambien (Spatt dan Miller 1981; Spencer dan Tinnin, 1997), perubahan struktur dan komposisi komunitas tumbuhan (Auerbach et al. , 1997; Spencer dan Tinnin, 1997), dan perubahan pola penggembalaan hewan (Walker dan Everett 1987). Dalam lingkungan gurun, banyak debu jalan 40 g m-2 meningkatkan suhu daun dengan 2 sampai 3 oC (Sharifi et al., 1997). Debu yang terakumulasi pada permukaan daun dapat mengganggu difusi gas antara daun dan udara. Sedimentasi partikel kasar mempengaruhi permukaan atas daun lebih (Thompson et al, 1984;. Kim et al, 2000.) Sementara partikel halus mempengaruhi permukaan yang lebih rendah (Ricks dan Williams 1974; Krajickova dan Me Fowler et al, 1989;. Beckett di al. 2000). 

DAMPAK TERHADAP MATERIAL

Sumber [5]

1. Sulfur Dioksida


Kerusakan oleh sulfur dioksida dialami oleh bangunan yang berbahan dasar seperti batu kapur, batu pualam dan dolomit. Efek dari kerusakan ini akan tampak pada penampilan, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut (Anonim, 2011). Kerusakan pada bangunan dapat disebabkan karena SO2 dan SO3 di udara, yang masing-masing membentuk asam sulfit dan asam sulfat. Suspensi asam di udara ini dapat terbawa turun ke tanah bersama air hujan dan mengakibatkan air hujan bersifat asam. Sifat asam dari air hujan ini dapat menyebabkan korosif pada logam-logam dan rangka -rangka bangunan, sehingga material menjadi rusak. Hujan asam dapat mempercepat terjadinya proses pengkaratan dari beberapa material seperti batu kapus, pasirbesi, marmer, batu pada dinding beton serta logam. Hujan asam mampu merusak batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan Kristal pada batuan yang telah menguap.

2. Nitrogen dioksida


Hujan asam juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material seperti batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan.

3. Karbon Monoksida


Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, tetapi sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia. Karbon monoksida yang berasal dari alam termasuk dari lautan, oksidasi metal di atmosfir, pegunungan, kebakaran hutan dan badai listrik alam. Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Karbon monoksida mampu mengakibatkan bekas kehitaman pada bahan yang tercemar.

4. Timbal


Timbal atau timah hitam merusak lingkungan dengan tampak terlihat berdebu dan kotor misalnya akibat asap pembuangan kendaraan bermotor yang pada umumnya mengandung Pb (Santi, 2001). Hal Ini tentu mengotori material di sekitar emisi Pb.

5. Ozon


Ozon memiliki sifat sebagai oksidator kuat. Sifat dari ozon ini dapat menimbulkan korosi pada material yang dikenainya. Hal ini menyebabkan kerusakan material dari bentuk semula. 

6. Partikulat (TSP, PM10, PM 2,5)


PM dapat menodai dan batu kerusakan dan bahan lainnya, termasuk benda-benda budaya penting seperti patung dan monumen. Beberapa dari efek ini terkait dengan efek hujan asam pada bahan. Jika partikulat yang menempel pada debu bersifat korosif, maka penempelan partikulat pada material dapat merusak material tersebut. Selain itu, partikulat juga dapat menurunkan nilai estetis suatu material, sehingga partikulat pada material harus dibersihkan.



DAFTAR PUSTAKA









https://www.lead.org.au/lanv1n2/lanv1n2-8.html ; diakses tanggal 30 Januari 2017



DAFTAR PUSTAKA GAMBAR